PERLU, MENGGAGAS VISI EKOLOGI BARU
Sarjono, S.I.Kom, M.Sos (Penulis buku Napak Tilas Penanggulangan Bencana Gempa Bumi Lombok Utara)
"The Malay Archipelago", buku
mahakarya terbitan tahun 1869. Wallace, sang penulis, sangat mengagumi dan
memuji keindahan Nusantara, dengan menulis untaian pujian atas keindahan alam
Indonesia. Namun begitu, apakah semua keindahan alam dengan tutupan hutan lebat
dan kelimpahan hujan dan air tersebut masih terlihat saat ini? Inilah
pertanyaan yang dapat dijawab dengan perkataan "semua itu kini hampir
lenyap dari pandangan mata". Jelasnya, kerusakan lingkungan di negeri kita
sungguh telah memberikan ancaman yang serius bagi kematian
"prematur" kehidupan di bumi. Betapa tidak, bencana alam kerap
terjadi, bukan saja pada musim hujan, melainkan juga pada musim kemarau. Pada
musim hujan, banjir dan tanah longsor melanda, sebaliknya musim kemarau kekeringan
tidak kalah ganas menerpa bumi.
Lanskap fenomena situasi tersebut
menjelaskan bahwa kita belum memiliki visi ekologi, terutama menyangkut
ganasnya banjir dan tanah longsor mengancam kehidupan. Kesalahan memandang
ekologi, ketiadaan visi ekologi maupun perilaku serakah telah memproduksi
korban nyawa dan kerugian harta benda. Artinya, setiap kali berbicara perihal
bencana yang tali temali bertalian dengan kerusakan lingkungan, maka kita mesti
bertolak pada pemikiran bahwa itu semua disebabkan cara pandang dan perilaku
kita yang salah atas keberadaan alam.
Alam selalu diasumsikan anasir ‘pemberi’
kemakmuran dan objek yang harus ditaklukkan demi kepentingan manusia. Alam
semesta diciptakan untuk kemakmuran hidup manusia, bukan ansich untuk
kelestarian alam itu sendiri. Imbasnya, alam bukan saja dimanfaatkan secara
maksimal, tetapi dayanya dikuras tanpa batas. Kolakum pemikiran Barat yang
secara sempurna ditularkan ke dalam pemikiran Timur. Keinginan untuk terus
menguras segala daya alam untuk semata-mata kemajuan ekonomi adalah buah dari
worldview modernisme-rasionalisme dan positivisme ala Barat. Rasionalisme dan
positivisme yang dijiwai spirit kapitalisme semakin mengabaikan kearifan
tradisional dianggap sebagai penghambat manusia yang economic oriented.
Perspektif yang amat tidak bersahabat dengan alam yang dipelopori dunia Barat
tercermin kuat pada dua paradigma, yaitu paradigma ekonomi dan paradigma
keilmuan dalam konteks kemajuan teknologi.
Kemakmuran adalah usaha manusia sebagai
buah ilmu pengetahuan dan teknologi. Memaksimalkan kemakmuran, teknologi
niscaya dikembangkan secara maksimal. Lantas hal esensial dilupakan - daya
dukung ekosfir sebagai landasan kemakmuran. Dengan frame berpikir ini, segala
kebijakan yang ditelurkan selalu mendukung pengembangan teknologi yang kontinyu
menyedot segala energi bumi, yang oleh Eric Wolf disebut kebijakan
ekologis-ekologi politik-bermodelkan ekonomi politik sumber daya alam. Suatu
istilah ekologi politik yang mendeskripsikan kesaling berpengaruhan sistem
ekonomi politik terhadap masalah-masalah lingkungan.
Realitas ekonomi politik kemudian tidak
mengenal efisiensi dalam kehidupan manusia, karena perihal yang dipikirkan
hanyalah prinsip ekonomi -- mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan
pengorbanan yang sekecil-kecilnya tanpa memperdulikan kerusakan ekologi.
Imbasnya, isi bumi dikuras, hutan dibabat hingga lingkungan alam dieksploitasi
terus menerus tanpa batas demi memperoleh keuntungan ekonomi yang besar.
Padahal, persediaan hasil bumi terbatas, sementara jumlah manusia penghuni bumi
itu sendiri terus bertambah dari masa ke masa.
Deskripsi situasi di atas selaras dengan
ungkapan Prof. John Beddington, bahwa peningkatan jumlah populasi dunia akan
menghasilkan dampak bencana yang sempurna (perfect storm) meliputi kelangkaan
pangan, energi dan air. Maka, tak ada pilihan lain selain harus mengubah haluan
kehidupan, baik cara pandang maupun perilaku hidup yang serakah terhadap alam.
Pemikir-pemikir ekologi seperti Goldsmith,
Bordean, dan Capra, misalnya, mengekspektasikan urgensitas perubahan dan
paradigma ekologis dengan visi baru ekologi sebagai pijakan keluar dari
kebuntuan krisis lingkungan yang parah. Cara pandang dan visi ekologi baru yang
dimaksudkan, tentu tidak bertentangan dengan hukum alam dan ketentuan yang
diberikan sejak penciptaan. Visi ekologi baru seyogianya berkaitan dengan
perawatan dan pemeliharaan alam serta berbagai upaya pelestarian yang serius
dan terfokus. Visi ekologi baru mesti dilandaskan pada upaya pengendalian diri
atas eksploitasi lingkungan yang berlangsung selama ini.
Ditilik dari paradigma agama-agama
Ibrahimik, regularitas dan keseimbangan alam telah disematkan Sang Pencipta
sejak awal penciptaan, dan Sang Pencipta juga mengingatkan manusia agar tidak
sekali-kali melanggar hukum keseimbangan itu dengan merusak alam serta
mengeksploitasi lingkungan tanpa batas. Jika hukum itu dilangar, alam akan
kehilangan daya dukung ekologisnya, sekaligus bisa menegur balik manusia dengan
menurunkan bencana hidrometeorologi. Siluet banjir, kekeringan hingga pemanasan
global dan perubahan iklim tak jarang mendera bumi pertiwi kita belakangan ini.
Tiada penyebab lain selain kian hilangnya keseimbangan alam di satu sisi, dan
belum lahirnya visi ekologi baru yang dapat menyelamatkan alam di sisi lain.
Ekologi memang tidak pernah berjalan
spekulatif. Laiknya kata Albert Einstein, “Tuhan tidak sedang bermain dadu,”
maka, bukan saja diasakan perubahan cara pandang dan perilaku, akan tetapi
perubahan sikap dan mental sekaligus bangunan visi ekologi baru untuk kembali
mengikuti aturan hukum Sang Pencipta dalam kehidupan.
Sikap masa bodoh terhadap kerusakan
lingkungan, bahkan dengan terus mengumbar nafsu serakah menguras daya alam
tanpa usaha memperbaruinya secara serius sekaligus dengan tegas membangun visi
ekologi baru berarti sama saja dengan tindakan bunuh diri secara ekologis.
Wallahualam.
