PERLU, MENGGAGAS VISI EKOLOGI BARU

TRM Berita Terbaru 16 Oktober 2025 306 kali PERLU, MENGGAGAS VISI EKOLOGI BARU Sarjono, S.I.Kom, M.Sos (Penulis buku Napak Tilas Penanggulangan Bencana Gempa Bumi Lombok Utara)

"The Malay Archipelago", buku mahakarya terbitan tahun 1869. Wallace, sang penulis, sangat mengagumi dan memuji keindahan Nusantara, dengan menulis untaian pujian atas keindahan alam Indonesia. Namun begitu, apakah semua keindahan alam dengan tutupan hutan lebat dan kelimpahan hujan dan air tersebut masih terlihat saat ini? Inilah pertanyaan yang dapat dijawab dengan perkataan "semua itu kini hampir lenyap dari pandangan mata". Jelasnya, kerusakan lingkungan di negeri kita sungguh telah  memberikan ancaman yang serius bagi kematian "prematur" kehidupan di bumi. Betapa tidak, bencana alam kerap terjadi, bukan saja pada musim hujan, melainkan juga pada musim kemarau. Pada musim hujan, banjir dan tanah longsor melanda, sebaliknya musim kemarau kekeringan tidak kalah ganas menerpa bumi.

Lanskap fenomena situasi tersebut menjelaskan bahwa kita belum memiliki visi ekologi, terutama menyangkut ganasnya banjir dan tanah longsor mengancam kehidupan. Kesalahan memandang ekologi, ketiadaan visi ekologi maupun perilaku serakah telah memproduksi korban nyawa dan kerugian harta benda. Artinya, setiap kali berbicara perihal bencana yang tali temali bertalian dengan kerusakan lingkungan, maka kita mesti bertolak pada pemikiran bahwa itu semua disebabkan cara pandang dan perilaku kita yang salah atas keberadaan alam.

Alam selalu diasumsikan anasir ‘pemberi’ kemakmuran dan objek yang harus ditaklukkan demi kepentingan manusia. Alam semesta diciptakan untuk kemakmuran hidup manusia, bukan ansich untuk kelestarian alam itu sendiri. Imbasnya, alam bukan saja dimanfaatkan secara maksimal, tetapi dayanya dikuras tanpa batas. Kolakum pemikiran Barat yang secara sempurna ditularkan ke dalam pemikiran Timur. Keinginan untuk terus menguras segala daya alam untuk semata-mata kemajuan ekonomi adalah buah dari worldview modernisme-rasionalisme dan positivisme ala Barat. Rasionalisme dan positivisme yang dijiwai spirit kapitalisme semakin mengabaikan kearifan tradisional dianggap sebagai penghambat manusia yang economic oriented. Perspektif yang amat tidak bersahabat dengan alam yang dipelopori dunia Barat tercermin kuat pada dua paradigma, yaitu paradigma ekonomi dan paradigma keilmuan dalam konteks kemajuan teknologi.

Kemakmuran adalah usaha manusia sebagai buah ilmu pengetahuan dan teknologi. Memaksimalkan kemakmuran, teknologi niscaya dikembangkan secara maksimal. Lantas hal esensial dilupakan - daya dukung ekosfir sebagai landasan kemakmuran. Dengan frame berpikir ini, segala kebijakan yang ditelurkan selalu mendukung pengembangan teknologi yang kontinyu menyedot segala energi bumi, yang oleh Eric Wolf disebut kebijakan ekologis-ekologi politik-bermodelkan ekonomi politik sumber daya alam. Suatu istilah ekologi politik yang mendeskripsikan kesaling berpengaruhan sistem ekonomi politik terhadap masalah-masalah lingkungan.

Realitas ekonomi politik kemudian tidak mengenal efisiensi dalam kehidupan manusia, karena perihal yang dipikirkan hanyalah prinsip ekonomi -- mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya tanpa memperdulikan kerusakan ekologi. Imbasnya, isi bumi dikuras, hutan dibabat hingga lingkungan alam dieksploitasi terus menerus tanpa batas demi memperoleh keuntungan ekonomi yang besar. Padahal, persediaan hasil bumi terbatas, sementara jumlah manusia penghuni bumi itu sendiri terus bertambah dari masa ke masa.

Deskripsi situasi di atas selaras dengan ungkapan Prof. John Beddington, bahwa peningkatan jumlah populasi dunia akan menghasilkan dampak bencana yang sempurna (perfect storm) meliputi kelangkaan pangan, energi dan air. Maka, tak ada pilihan lain selain harus mengubah haluan kehidupan, baik cara pandang maupun perilaku hidup yang serakah terhadap alam.

Pemikir-pemikir ekologi seperti Goldsmith, Bordean, dan Capra, misalnya, mengekspektasikan urgensitas perubahan dan paradigma ekologis dengan visi baru ekologi sebagai pijakan keluar dari kebuntuan krisis lingkungan yang parah. Cara pandang dan visi ekologi baru yang dimaksudkan, tentu tidak bertentangan dengan hukum alam dan ketentuan yang diberikan sejak penciptaan. Visi ekologi baru seyogianya berkaitan dengan perawatan dan pemeliharaan alam serta berbagai upaya pelestarian yang serius dan terfokus. Visi ekologi baru mesti dilandaskan pada upaya pengendalian diri atas eksploitasi lingkungan yang berlangsung selama ini.

Ditilik dari paradigma agama-agama Ibrahimik, regularitas dan keseimbangan alam telah disematkan Sang Pencipta sejak awal penciptaan, dan Sang Pencipta juga mengingatkan manusia agar tidak sekali-kali melanggar hukum keseimbangan itu dengan merusak alam serta mengeksploitasi lingkungan tanpa batas. Jika hukum itu dilangar, alam akan kehilangan daya dukung ekologisnya, sekaligus bisa menegur balik manusia dengan menurunkan bencana hidrometeorologi. Siluet banjir, kekeringan hingga pemanasan global dan perubahan iklim tak jarang mendera bumi pertiwi kita belakangan ini. Tiada penyebab lain selain kian hilangnya keseimbangan alam di satu sisi, dan belum lahirnya visi ekologi baru yang dapat menyelamatkan alam di sisi lain.

Ekologi memang tidak pernah berjalan spekulatif. Laiknya kata Albert Einstein, “Tuhan tidak sedang bermain dadu,” maka, bukan saja diasakan perubahan cara pandang dan perilaku, akan tetapi perubahan sikap dan mental sekaligus bangunan visi ekologi baru untuk kembali mengikuti aturan hukum Sang Pencipta dalam kehidupan.

Sikap masa bodoh terhadap kerusakan lingkungan, bahkan dengan terus mengumbar nafsu serakah menguras daya alam tanpa usaha memperbaruinya secara serius sekaligus dengan tegas membangun visi ekologi baru berarti sama saja dengan tindakan bunuh diri secara ekologis. Wallahualam.